Judul buku : The
Jongos Ways
Penulis : Muhsin Budiono
Sementara teman-teman saya banyak memilih buku-buku yang langsung
menguraikan bagaimana menumbuhkan sifat leadership dan yang berhubungan dengan
semacam itu, entah kenapa saya malah tertarik dengan satu buku ini yang
berjudul “The Jongos Ways”, kiat-kiat menjadi jongos. Satu sisi saya tertarik,
di sisi yang lain saya bingung, apa yang akan saya dapatkan dari buku ini.
Tapi, ketika saya membaca satu kutipan dari Bapak Dahlan Iskan yang ada di
belakang sampul buku ini yang bunyinya, “Untuk bisa jadi pemimpin yang baik
harus bisa menjadi anak buah yang baik,” ketertarikan saya bertambah untuk bisa
membacanya. Saya sadar betul, realitanya, setelah lulus nanti, kemungkinan terbesarnya adalah cari kerja, di
tempat yang nyaman dan gajinya sesuai. Tentunya dengan memilih jalan itu,
konsekuensinya kita berada di bawah perintah seorang atasan dan pada akhirnya
kita menjadi seorang pekerja yang secara mau tidak mau ikut perintah majikan
atau secara kasarnya bisa dibilang kita adalah jongos. Tapi menurut saya itu
sebuah adalah step dalam mencapai kesuksesan.
Saya percaya para atasan
itu dulunya juga seorang jongos yang dengan kegigihannya dalam bekerja dan
mencapai tujuannya akhirnya mereka diberi kepercayaan memegang kekuasaan lebih
tinggi. Itulah kepercayaan saya kenapa kemudian saya memilih buku ini. Menurut
saya pun, buku ini tidak hanya khusus untuk pekerja yang kerja sudah punya gaji
di perusahaan atau tempat-tempat tertentu, tapi penting juga untuk mahasiswa
mempelajari hal ini untuk memotivasi diri mereka menjadi sesuatu yang lebih
dari biasa.
Pada bab awal buku ini, Bapak Muhsin Budiono banyak menjelaskan tentang
dua istilah termasuk perbedaannya. Istilah pertama adalah jongos biasa dan
kedua adalah jongos luar biasa atau beliau menyebutkan dalam buku ini dengan sebutan
jongoszers. Secara umum jongos diartikan beliau sebagai seseorang yang
mempunyai atasan dan harus menuruti perintah dari atasannya tersebut. Seperti
halnya mahasiswa analis yang nantinya ingin bekerja di rumah sakit, yang bisa
dilabeli sebagai jongos. Namun, yang terpenting sebenarnya bukan pelabelan
tersebut, tapi arti pekerjaan dan pelayanan yang kita lakukan. Beliau dalam
buku ini kemudian menyorot banyaknya orang yang lupa tujuan dari pekerjaan
mereka untuk melayani masyarakat dengan service yang excellent.
Kemudian, bapak Muhsin dalam bukunya ini membedakan antara jongos biasa
dan jongoszers. Jongos biasa menurut beliau adalah pekerja-pekerja yang intinya
hanya terima bersih, kerjakan apa yang disuruh, nyaman dengan posisinya,
asalkan dia bisa terima gaji dan bisa hidup. Alhasil, dengan pemikiran seperti
itu, pekerjaannya hanyalah sebuah pekerjaan, tanpa ada nilai plus, membosankan,
dan berimbas pada kinerjanya sendiri. Sedangkan, jongoszers adalah orang-orang
yang mampu memaknai pekerjaannya sendiri, mencintai apa yang dia lakukan, mampu
memberikan pelayanan yang lebih, dan tidak menganggap remeh pekerjaannya.
Sebagai ganjarannya, orang-orang seperti ini tidak akan bosan dalam bekerja,
punya harapan untuk terus maju, dan mampu membuat perubahan-perubahan besar
bagi kehidupannya, pekerjaannya, dan orang-orang di sekitarnya. Kalau disuruh
memilih, kira-kira kita mau jadi seperti apa? Jongos biasa atau golongan
jongoszers? Saya pribadi memilih ingin menjadi seorang jongoszers yang akhirnya
bisa jadi pemimpin di kemudian hari.
Kemudian di bab selanjutnya, bapak Muhsin menyebutkan prinsip-prinsip
utama yang harus dipegang bagi mereka yang ingin menjadi jongoszers.
1. Menciptakan nilai untuk
orang lain dan diri sendiri. Dengan memegang prinsip ini, jongoszers mampu
menciptakan nilai dan kesan positif di mata konsumen tanpa mengeluarkan uang
sepeser pun.
2. Berkompetisi dengan diri
sendiri. Kenapa musuh terbesar adalah diri sendiri? Karena terkadang kita
terlalu nyaman dengan keadaan sedang-sedang saja, yakni keinginan melakukan hal
atau pekerjaan biasa dan tidak lebih dari demi sekedar bertahan hidup.
3. Membuat perbedaan. Intinya,
kalau orang lain hanya sebatas berniat atau mengatakan ingin melakukan suatu
hal positif, kita tidak hanya berniat atau mengatakannya, tapi mengerjakannya.
Tidak ada pekerjaan yang remeh atau biasa, yang ada hanyalah orang yang merasa
tidak penting ketika melakukan pekerjaan mereka.
4. Membangun kepedulian. Orang
tidak akan peduli sebanyak apa yang engkau ketahui sampai mereka tahu sejauh
apa engkau peduli. Langkah awal membangun kepeduliaan adalah jangan menganggap
manusia sebagai patung.
5. Menjaga hubungan dengan
Tuhan. Ketika seseorang percaya akan Tuhan dan kebesaran-Nya, maka tidak ada
yang ditakutinya karena dia tahu dia punya Zat yang maha segala-galanya.
Itu beberapa hal yang bisa saya dapatkan setelah membaca dua bab buku
ini. Jadi pertanyaannya, apakah kita ingin mengabdikan diri hanya sebagai
jongos biasa atau belajar menjadi orang-orang yang termasuk golongan
jongoszers?
0 komentar:
Posting Komentar