“Oke anak-anak, di tangan ibu sudah ada hasil
mid test minggu lalu. Ibu harap, menjelang ulangan semesteran ini, nilai-nilai
yang masih di bawah standar bisa diperbaiki lagi. Melihat nilai kalian itu
bagaikan berada di ujung jurang. Tapi untunglah beberapa orang bisa sedikit
menjauhkan Ibu dari jurang itu.”
“Titania Larissa, Revalino Sebastian, terima
kasih sudah menyelamatkan ibu dari jurang itu. Nilai kalian sempurna.”
Tidak diragukan lagi untuk diriku. Bukannya
sombong, tapi satu lagi yang harus orang lain ketahui tentang diriku. Aku
selalu bertanya-tanya kapan sifat-sifat burukku itu akan hilang, tapi sampai
sekarang tidak juga berbeda. Maafkanlah aku, Ya Tuhan.
Titan, seseorang yang disandingkan namanya
denganku? Seseorang yang tidak bisa kutebak ini benar-benar membuatku hampir
gila. Kegilaan yang memuncak.
“Hei Titan. Tak kusangka kita berada di tingkat yang
sama.”
“Tingkat? Bisa ditebak lo itu gimana?”
“Gimana?”
“Punya otak, kan?”
“Ya, ya, sedikit sombong,” dia memandangku
dengan sinis untuk pertama kalinya,”Oke, sangat pede.”
“Aku punya sedikit tawaran.””gimana kalau kita
bikin sebuah permainan. Siapa yang kalah harus menuruti kemauan pemenangnya.”
“Sombong.”
“oke, kamu bebas bilang aku apa aja. Tapi,
terima dulu tawaranku. Atau jangan-jangan kamu itu takut ya?
“gue Cuma takut sama Tuhan,”Katanya sambil
menatapku. Tatapan yang yakin membuatku tercengang apalagi saat dia menyebut
Tuhan.
“Oke, berarti kita deal dong,” kataku sambil
menyodorkan tangan yang pada akhirnya tidak disentuhnya sama sekali.
Sebuah perjanjian kami buat. Siapa yang bisa
mendapatkan peringkat satu untuk semesteran nanti akan menjadi pemenang dalam
permainan kali ini. kami tidak ingin menamakannya taruhan, tapi sebuah
permainan. Terutama, permainan untuk meluluhkan hati wanita ini. buatku itulah
hal terpenting. Permainan yang akan mengikat kami, permainan yang kuharap bisa
sedikit membuka hatinya.
Hari ini mungkin menjadi hari yang sama sekali
tidak ingin kulewatkan kalau aku tahu apa yang akan terjadi. Sepulang sekolah
saat hampir tidak ada kehidupan di tempat ini, aku mendengar suara musik yang
cukup keras dari studio tari. Sekali lagi takdir, takdir yang membawaku jauh
dari kebiasaanku untuk pulang segera. Tepat saat aku berada di studio music
karena harus mengambil dompet tanpa uangku yang tertinggal. Eits, bukan berarti
tidak berharga. Sebenarnya aku hampir sampai di rumah saat aku ingat dompetku
tertinggal di sana. Bagaimana aku bisa masuk kalau passing card ku tidak ada.
Apartemen yang canggih, secanggih dia yang membuatku harus ke sekolah lagi
hanya karena ketinggalan dompet tanpa uang yang bisa kuambil kapanpun.
Tak ada yang kusesali saat aku hampir mati
kekesalan. Seorang diri dia menari dengan indah diiringi music yang kukenal.
Music dari Exo-Growl yang sedang buming saat ini. saat ini pun aku sedang
berlatih tarian itu. Dia mungkin terlalu senang sampai-sampai dia tidak menyadari
kehadiranku. Tapi, syukurlah. Beginikah orang yang saat itu hanya berdiri
memejamkan mata saat dia disuruh untuk menari. Apakah ini orang yang sama yang
kulihat selama ini? lepas tersenyum tanpa beban apapun?
Musik berhenti, tariannya berhenti, saatnya dia
menyadari kehadiranku. Wajahnya tanpa ekspresi saat melihatku berdiri di depan
pintu studio itu. Tapi aku tahu dia sangat terkejut dengan kehadiranku karena
dia sempat terpaku beberapa saat melihatku.
“Kau… Sangat indah.” Hanya itu yang bisa
kuucapkan saat aku berpapasan dengannya. Dia pergi. Tapi aku tidak tahu apa
yang dia pikirkan saat aku melihatnya atau saat aku mengucapkan kata-kata itu.
Beberapa saat aku bergelut dengan pemikiran
mencoba menebak apa yang mungkin dia rasakan sampai tiba-tiba ayahku menelepon.
Dia menyuruhku untuk datang ke rumah sakit. Rumah sakit yang cukup jauh untuk
pejalan kaki sepertiku. Teganya dia menyuruhku ke sana sementara dia tahu, dia
belum memberiku uang bulanan. Sampai di ruangannya, aku masih harus menunggu
karena dia masih ada pasien. Di balik nasib baik hari ini, nasibku ternyata
tidak benar-benar buruk, tapi sangat buruk. Perutku terus meminta untuk diberi
makan, sampai itu terbuka. Aku yang tidak sabar ingin masuk tidak sengaja
menabrak pasien itu. Pasien yang tidak pernah kuduga.
“Maaf,” kataku sambil mencoba menangkap raut
wajah orang itu,”titan?” aku mencoba membungkuk mengambilkan barangnya yang
terjatuh. Aku tidak pernah mengira bahwa aku akan melihat obat itu lagi bersama
orang yang kusayang.
“Ini.. milikmu?” tidak sedikitpun kudengar
jawabannya dia malah pergi meninggalkanku dengan terburu-buru. Aku mencoba
meminta penjelasan dari ayahku tapi hanya kata-kata yang tidak kuharapkan dari
dirinya.
“Jagalah dia.”
Aku berlari mencoba meraih jejaknya. Tak ada
yang pasti apa yang akan terjadi dengannya kalau aku meninggalkannya sendirian.
Aku tidak pernah curiga saat aku melihatnya mimisan bahkan sampai pingsan
karena aku tidak pernah ingin sesuatu yang buruk.
Beruntung, aku masih bisa menemukannya. Dia
bukanlah seperti orang lain yang akan menggunakan fasilitas orang tuanya dengan
mudah. Dia hanya menggunakan nama orang tuanya sebagai pemilik yayasan untuk
membela yang lemah. Tapi, apakah dengan kondisinya seperti ini dia masih harus
terus jalan kaki seperti ini? apa orang tuanya terlalu otoriter sampai
membiarkannya seperti ini.
Aku terus mengikutinya dari belakang. Beberapa
kali aku melihat betapa mengagumkannya dirinya. Lebih dari itu, aku tak pernah
menemukan alasan yang pasti kenapa hatiku terus bergetar melihatnya. Tapi aku
tahu, itulah dia. Banyak memberikan alasan, tapi membuat orang menyayanginya
tanpa alasan. Hanya untuk beberapa orang yang benar-benar menyadari itu.
Aku terus mengikutinya tanpa kusadari aku kehilangan
jejaknya,”Hush, harusnya aku lebih cermat tadi,” beberapa lama aku kebingungan
tanpa kusadari seseorang telah berdiri di belakangku.
“Are you spy?”
Aku menengok ke belakang dengan pelan berharap
bukan orang yang kupikirkan.
“Oh, Lo? Ada masalah apa lo nguntitin gue, hah?”
Aku hanya tersenyum kaku mendengar pertanyaannya
“Nggak usah nyari-nyari alasan. Gue nggak peduli
apa alasan lo. Tapi kalau boleh gue saranin, daripada lo nguntitin orang lain,
lebih baik lo persiapin mental kalah dari gue dan perbaikin dance lo itu.”
Hanya itu dan tak ada pertanyaan lain. Apakah
dia benar-benar sakit? Kukira tidak melihat sikapnya yang begitu keras. Dia
berjalan menjauhiku setelah kalimat terakhirnya itu. Benar-benar membuatku
gila. Aku berbalik mencoba mengejarnya saat kulihat dia sudah terkapar tak
berdaya di pinggir jalan. Sesaat aku kehilangan kendali terhadap diriku. Aku
berlari ke tempat Titan mencoba memastikan keadaannya. Tapi aku melihat keadaan
yang tidak begitu baik. Matanya tertutup rapat. Kucoba berbicara dengannya.
Tapi tak ada respon sama sekali darinya. Hidungnya mengeluarkan darah. Kucoba
mengelap hidungnya terlebih dahulu sebelum menggendongnya ke rumah sakit yang
masih belum terlalu jauh kami tinggalkan. Melihat hal ini lagi, tanpa sadar
mataku mulai berair, tapi kuputuskan untuk tidak menangis lagi saat ini. dia
benar-benar ada di dekapanku sekarang, aroma tubuhnya yang harum terus tercium
olehku sepanjang jalan, rambutnya lembut dan harum. Sekarang aku sangat dekat
dengan wanita ini. tapi apakah waktu ini akan berlalu sangat cepat? Tuhan,
izinkan aku selalu di sampingnya walau hanya sesaat, aku ingin menjaganya,
wanita ini, wanita yang kau takdirkan untukku.
***
0 komentar:
Posting Komentar