2014/02/04

She's Mine (Part 3: Final)

By: Khafa_Fathimah di 14.06
Tiba di rumah sakit, aku langsung membawanya ke IGD. Beberapa menit ayahku memeriksanya. Aku sangat ingin di sampingnya saat ini. tapi aku hanya bisa mondar-mandir di depan pintu IGD. Sesekali aku mencoba melihat ke dalam lewat kaca pintu itu, tapi aku tidak bisa menemukan apa-apa lewat kaca buram pintu itu. Tak lama, pintu yang sedari tadi tak berhenti memacu jantungku, terbuka. Kulihat ayahku yang keluar dari tempat itu. Tapi aku sama sekali tidak memedulikannya. Yang kutahu, pintu itu terbuka dan aku bisa masuk sekarang. Aku sudah tahu bagaimana dia sekarang. Tapi aku juga tahu, dia lebih kuat dari apa yang bisa orang lihat.
Aku melihatnya terbaring di salah satu ranjang ruangan serba putih itu. Kali ini tidak dengan mata terpejamnya.
“Thanks.” Satu kata yang dia ucapkan saat dia melihatku datang.
“No problem. Kau terlihat lebih baik.” Aku hanya memandangnya setelah mengatakan hal itu.  Duduk di kursi kecil putih dan tetap memandangnya tanpa peduli apa yang dia pikirkan. Sampai dia memulai sebuah pembicaraan. Terlihat baik? Aku tahu betapa sakitnya dia sekarang. Bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya.
“Lo nggak nanya kenapa gue pingsan? Tumben banget.”katanya tanpa memandang ke arahku tapi hanya membelakangiku.
“Aku nanya sampai gila pun kamu nggak akan pernah mau jawabkan? Jadi daripada saraf-sarafku semakin terganggu lebih baik aku tidak bertanya.” Dia menoleh ke arahku sebentar dan kembali menoleh ke arah sebelumnya dalam diam. Banyak hal yang mungkin ingin dia kisahkan pada satu orang yang bisa mendengarkannya. Tapi aku hanya ingin diam tanpa mengganggunya sampai tiba-tiba dia berpaling lagi ke arahku.bibirnya mulai bergerak,”Gue sakit, leukemia,” itulah yang bisa kudengar dari bibirnya. Aku diam sambil merasakan tubuhku yang bergetar entah karena mendengar kata-kata itu atau menyadari bahwa dia mulai mempercayaiku.

Dia lalu bangun dari ranjangnya dan menggapai tasnya yang ada di meja samping ranjang.”Loh, kamu mau kemana?” tanyaku tanpa menunjukkan kekhawatiranku yang sangat mendalam.
“Gue mau pulang.”
“Loh?” kusadari dia memang benar-benar keras kepala. Aku yakin ayah sudah menyuruhnya untuk beristirahat sementara disini.
Aku mengikutinya. Dia sempat bertanya kenapa aku terus mengikutinya.”Daripada orang lain yang mengikutimu, lebih baik aku kan?” kata ku dengan pede tetap menyembunyikan kekhawatiranku. Kali ini dia membiarkanku, sama sekali taka da perlawanan. Sesaat aku berpikir, apakah ini benar-benar dia yang baru kukenal beberapa bulan lalu? Aku mengawasi langkahnya yang terlihat masih lemah sampai di depan rumahnya.
***
(Nada dering exo-growl) “Ma, mama jadi….” Ucapannya terputus di lanjutkan raut wajah buruknya. Dia gembira sesaat, tapi mengapa raut wajah itu tiba-tiba berubah?
Hari itu, hari penentuan perjanjian kami. Menjadi tidak begitu istimewa. Raut wajahnya tidak berubah setelah menerima telepon itu. Sampai peringkat di kelas kami diumumkan. Yah, dia menang. Dia melangkah ke depan semua orang tua yang telah hadir di depan sana. Wajahnya tidak juga berubah. Aku hanya bisa melihat kesedihan di paras cantiknya saat berada di sampingku sebagai peringkat pertama. Terlebih lagi setelah maju beberapa saat, tak ada juga yang datang mendampinginya, orang tuanya. Saat itu aku tahu alasan raut wajahnya yang buruk.
Dia bersandar di salah satu tiang di luar ruang aula sambil memegang sebuah bunga yang hampir habis kelopaknya. Aku mendekatinya mencoba menghiburnya,”Tan?””Oke, karena kamu yang menang, sebagai laki-laki sejati, aku bakalan penuhi perjanjian kita,”
“Silakan, sekarang, tuh banyak orang.”
“Sekarang? Di sini?”
“Iya. Kenapa? Menyesal bermain-main denganku? Sesuai perjanjian, kan? Dance di tengah temen-temen lain,”
Aku mungkin tidak malu pada teman satu kelas, tapi satu sekolah? Di tambah lagi ada ayahku di sini? Ah, benar-benar, pamorku yang sudah jelek bakal tambah jelek, nih. Tapi, tidak juga. Aku akan beri mereka kejutan setelah itu. Terutama kamu, Titan Larissa.
Aku memulai aksi memalukanku, tapi untukku ini bukanlah sesuatu yang memalukan amat sih. Aku menyukai tarian ini. semua orang tertawa melihat tarianku. Sedang ayahku sepertinya sedang meyakinkan diri bahwa orang gila itu bukan anaknya. Titan, dia terlihat sedikit lebih bahagia melihatku dance seperti ini. syukurlah.
Tarian itu kuakhiri. Aku berjalan ke tempat Titan berdiri dan menariknya bersamaku kembali ke tempat aku menggila tadi. Sesuai rencana, Reno memutarkan lagu yang kuminta lewat operator sekolah, Exo-Growl. Aku memulai melakukan aksiku bersama temanku yang lain. Dia menatapku sesaat. Mungkin tidak percaya. Lalu aku menariknya yang hanya berdiri untuk ikut bersamaku, berbahagia. Walau sedikit malu, dia akhirnya mengikuti music itu sekarang. Senyumnya semakin lebar diiringi gerakannya yang semakin lincah. Kami bahkan tidak menyadari sekarang hanya tinggal kami berdua yang ada di sini. Kami mengakhirnya dengan menyatukan telapak tangan kami. Dia tersenyum lebar,”Kau. Makasih,” katanya sambil menatapku. Semua orang menyoraki kami, mereka bertepuk tangan. Tapi hanya sesaat sampai tiba-tiba tangannya terlepas pelan dari tanganku dan kulihat titan perlahan terebah di tempatnya. Aku menangkapnya sebelum dia benar-benar jatuh ke tanah. Ayahku langsung mendatangi kami. Kali ini dia benar-benar pucat. Kami membawanya ke rumah sakit.
***
Beberapa bulan berlalu. Sekolah berjalan seperti biasa. Yang berbeda, aku menjadi popular di sekolah ini, bukan lagi orang yang aneh. Di kelilingi gadis-gadis satu sekolah menjadi tak asing buatku.
Dari arah lain, aku melihatnya, seseorang yang dulu kukenal sampai sekarang. Dia menjadi orang terpopuler versi wanita di sekolah, sama denganku, semenjak saat itu. Dia pun tak asing dikelilingi laki-laki lain. Tapi yang kulihat dari matanya, hanya ada aku. Kali ini bukan wajah juteknya, tapi senyum terindahnya hanya untukku.
“Hai,” sapaku kepada wanita itu saat aku bertemu mata dengannya. Dia diam menatapku sesaat dan langsung memelukku. Sebuah pelukan hangat yang selalu kurasakan setiap pagi. Beberapa saat berlalu, dia melepaskan pelukannya. Aku memegang tangan kanannya dengan tangan kiriku dan kami berjalan berdua melewati fans-fans kami yang kelihatannya mulai menangis. Tapi, kami tidak peduli selama ada kami berdua di sini. Dia mulai menyandarkan kepalanya di bahu tanganku. Aku, hanya bisa memegang tangannya lebih erat, tak ingin melepasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

TRACK LIST

[soundcloud url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /] [soundcloud params="auto_play=true&show_comments=false" url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /] Embeds a track player which starts playing automatically and won’t show any comments. [soundcloud params="color=33e040&theme_color=80e4a0" url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /]
 

DAILY NOTES Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting