Tiba di rumah sakit, aku
langsung membawanya ke IGD. Beberapa menit ayahku memeriksanya. Aku sangat
ingin di sampingnya saat ini. tapi aku hanya bisa mondar-mandir di depan pintu
IGD. Sesekali aku mencoba melihat ke dalam lewat kaca pintu itu, tapi aku tidak
bisa menemukan apa-apa lewat kaca buram pintu itu. Tak lama, pintu yang sedari
tadi tak berhenti memacu jantungku, terbuka. Kulihat ayahku yang keluar dari
tempat itu. Tapi aku sama sekali tidak memedulikannya. Yang kutahu, pintu itu
terbuka dan aku bisa masuk sekarang. Aku sudah tahu bagaimana dia sekarang.
Tapi aku juga tahu, dia lebih kuat dari apa yang bisa orang lihat.
Aku melihatnya terbaring di
salah satu ranjang ruangan serba putih itu. Kali ini tidak dengan mata
terpejamnya.
“Thanks.” Satu kata yang
dia ucapkan saat dia melihatku datang.
“No problem. Kau terlihat
lebih baik.” Aku hanya memandangnya setelah mengatakan hal itu. Duduk
di kursi kecil putih dan tetap memandangnya tanpa peduli apa yang dia pikirkan.
Sampai dia memulai sebuah pembicaraan. Terlihat baik? Aku tahu betapa sakitnya
dia sekarang. Bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya.
“Lo nggak nanya kenapa gue
pingsan? Tumben banget.”katanya tanpa memandang ke arahku tapi hanya
membelakangiku.
“Aku nanya sampai gila pun
kamu nggak akan pernah mau jawabkan? Jadi daripada saraf-sarafku semakin
terganggu lebih baik aku tidak bertanya.” Dia menoleh ke arahku sebentar dan
kembali menoleh ke arah sebelumnya dalam diam. Banyak hal yang mungkin ingin
dia kisahkan pada satu orang yang bisa mendengarkannya. Tapi aku hanya ingin
diam tanpa mengganggunya sampai tiba-tiba dia berpaling lagi ke arahku.bibirnya
mulai bergerak,”Gue sakit, leukemia,” itulah yang bisa kudengar dari bibirnya.
Aku diam sambil merasakan tubuhku yang bergetar entah karena mendengar
kata-kata itu atau menyadari bahwa dia mulai mempercayaiku.
Dia lalu bangun dari
ranjangnya dan menggapai tasnya yang ada di meja samping ranjang.”Loh, kamu mau
kemana?” tanyaku tanpa menunjukkan kekhawatiranku yang sangat mendalam.
“Gue mau pulang.”
“Loh?” kusadari dia memang
benar-benar keras kepala. Aku yakin ayah sudah menyuruhnya untuk beristirahat
sementara disini.
Aku mengikutinya. Dia
sempat bertanya kenapa aku terus mengikutinya.”Daripada orang lain yang
mengikutimu, lebih baik aku kan?” kata ku dengan pede tetap menyembunyikan
kekhawatiranku. Kali ini dia membiarkanku, sama sekali taka da perlawanan.
Sesaat aku berpikir, apakah ini benar-benar dia yang baru kukenal beberapa
bulan lalu? Aku mengawasi langkahnya yang terlihat masih lemah sampai di depan
rumahnya.
***
(Nada dering exo-growl)
“Ma, mama jadi….” Ucapannya terputus di lanjutkan raut wajah buruknya. Dia
gembira sesaat, tapi mengapa raut wajah itu tiba-tiba berubah?
Hari itu, hari penentuan
perjanjian kami. Menjadi tidak begitu istimewa. Raut wajahnya tidak berubah
setelah menerima telepon itu. Sampai peringkat di kelas kami diumumkan. Yah,
dia menang. Dia melangkah ke depan semua orang tua yang telah hadir di depan
sana. Wajahnya tidak juga berubah. Aku hanya bisa melihat kesedihan di paras
cantiknya saat berada di sampingku sebagai peringkat pertama. Terlebih lagi
setelah maju beberapa saat, tak ada juga yang datang mendampinginya, orang
tuanya. Saat itu aku tahu alasan raut wajahnya yang buruk.
Dia bersandar di salah satu
tiang di luar ruang aula sambil memegang sebuah bunga yang hampir habis
kelopaknya. Aku mendekatinya mencoba menghiburnya,”Tan?””Oke, karena kamu yang
menang, sebagai laki-laki sejati, aku bakalan penuhi perjanjian kita,”
“Silakan, sekarang, tuh
banyak orang.”
“Sekarang? Di sini?”
“Iya. Kenapa? Menyesal
bermain-main denganku? Sesuai perjanjian, kan? Dance di tengah temen-temen
lain,”
Aku mungkin tidak malu pada
teman satu kelas, tapi satu sekolah? Di tambah lagi ada ayahku di sini? Ah,
benar-benar, pamorku yang sudah jelek bakal tambah jelek, nih. Tapi, tidak
juga. Aku akan beri mereka kejutan setelah itu. Terutama kamu, Titan Larissa.
Aku memulai aksi
memalukanku, tapi untukku ini bukanlah sesuatu yang memalukan amat sih. Aku
menyukai tarian ini. semua orang tertawa melihat tarianku. Sedang ayahku
sepertinya sedang meyakinkan diri bahwa orang gila itu bukan anaknya. Titan,
dia terlihat sedikit lebih bahagia melihatku dance seperti ini. syukurlah.
Tarian itu kuakhiri. Aku
berjalan ke tempat Titan berdiri dan menariknya bersamaku kembali ke tempat aku
menggila tadi. Sesuai rencana, Reno memutarkan lagu yang kuminta lewat operator
sekolah, Exo-Growl. Aku memulai melakukan aksiku bersama temanku yang lain. Dia
menatapku sesaat. Mungkin tidak percaya. Lalu aku menariknya yang hanya berdiri
untuk ikut bersamaku, berbahagia. Walau sedikit malu, dia akhirnya mengikuti
music itu sekarang. Senyumnya semakin lebar diiringi gerakannya yang semakin
lincah. Kami bahkan tidak menyadari sekarang hanya tinggal kami berdua yang ada
di sini. Kami mengakhirnya dengan menyatukan telapak tangan kami. Dia tersenyum
lebar,”Kau. Makasih,” katanya sambil menatapku. Semua orang menyoraki kami,
mereka bertepuk tangan. Tapi hanya sesaat sampai tiba-tiba tangannya terlepas
pelan dari tanganku dan kulihat titan perlahan terebah di tempatnya. Aku
menangkapnya sebelum dia benar-benar jatuh ke tanah. Ayahku langsung mendatangi
kami. Kali ini dia benar-benar pucat. Kami membawanya ke rumah sakit.
***
Beberapa bulan berlalu.
Sekolah berjalan seperti biasa. Yang berbeda, aku menjadi popular di sekolah
ini, bukan lagi orang yang aneh. Di kelilingi gadis-gadis satu sekolah menjadi
tak asing buatku.
Dari arah lain, aku
melihatnya, seseorang yang dulu kukenal sampai sekarang. Dia menjadi orang
terpopuler versi wanita di sekolah, sama denganku, semenjak saat itu. Dia pun
tak asing dikelilingi laki-laki lain. Tapi yang kulihat dari matanya, hanya ada
aku. Kali ini bukan wajah juteknya, tapi senyum terindahnya hanya untukku.
“Hai,” sapaku kepada wanita
itu saat aku bertemu mata dengannya. Dia diam menatapku sesaat dan langsung
memelukku. Sebuah pelukan hangat yang selalu kurasakan setiap pagi. Beberapa
saat berlalu, dia melepaskan pelukannya. Aku memegang tangan kanannya dengan
tangan kiriku dan kami berjalan berdua melewati fans-fans kami yang
kelihatannya mulai menangis. Tapi, kami tidak peduli selama ada kami berdua di
sini. Dia mulai menyandarkan kepalanya di bahu tanganku. Aku, hanya bisa
memegang tangannya lebih erat, tak ingin melepasnya.
0 komentar:
Posting Komentar