Dengan sedikit warna kuning
yang ditambahkannya di paduan warna lukisan itu. Daun yang indah menopang bunga
yang semerbak. Warnanya dan harumnya membuat gadis itu tertarik untuk mengambil
kuas dan memainkan cat minyak kesayangannya dengan warna-warnanya yang indah di
atas kanvas putih.
Suara angin makin
menenangkan. Kesendiriannya di tengah taman itu, duduk di atas kursi panjang
yang artistik ditemani oleh kanvasnya, tidak membuatnya takut malah semakin
nyaman berada di sana.
Rona warna jingga
membuatnya harus beranjak dari sana. Tapi, sekali lagi, dia mencoba menyentuh
kelembutan bunga yang dilukisnya dan mengucapkan selamat
tinggal.
Angin sore menemani langkah
kakinya yang lembut. Dari kejauhan, sesosok byangan, tak setinggi dirinya,
menghampirinya.
“Kakak, kakak darimana
saja?” katanya dengan suara lembut dan
polos.
Nisa menjawab dengan suara
lembut,”Kakak habis dari taman, Nita. Kenapa kamu ke sini, sih? Bahaya tau.
Lain kali jangan kayak gitu
lagi!”
“Yee, Nita kan sudah besar,
sudah kelas 4 SD. Lagipula, aku takut kakak kenapa-napa di luar. Ibu sama bapak
juga nyariin,”ucapnya dengan
riang.
“Ah, kamu ini, perhatian
banget, sih, sama kakak,” kata Nisa sambil melayangkan cubitan kecil ke pipi
lembut adik kesayangannya
itu.
Kedua saudara itu pun
berjalan beriringan sambil berpegangan tangan menyusuri jalan kecil dikelilingi
pohon-pohon pinus. Keakraban mereka berdua mengalahkan aroma angin sore itu,
sangat harum dan hangat.
“Nit, kakak ada hadiah buat
kamu. Pasti kamu suka.”
“Apa, Ka?”katanya sambil
menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya dengan perasaan yang
bertanya-tanya.
Nisa pun menunjukkan hasil
lukisannya tadi. Di sudut pojok bawah lukisan itu tertulis nama Anita Fajar
Zahra, nama adiknya. Anita tidak dapat menutupi kegembiraannya. Dia pun
melompat-lompat kegirangan sambil memandang lukisan yang indah itu. Suara teriakan
kebahagiannya terlontar bagai hujan. Adik kecil itu pun menghambur ke pelukan
tubuh tinggi kakaknya. Kini dia bisa merasakan betul betapa senangnya gadis
kecil itu.“Untunglah.”
***
Hari kembali menemui fajar
di ufuk timur. Dua gadis itu bersepeda beriringan dengan riang. Tapi, mereka
harus berpisah di sebuah persimpangan jalan untuk ke sekolah mereka
masing-masing. Anita, anak kelas 4 SD itu sepertinya gengsi kalau harus diantar
oleh kakaknya setiap hari. Dia lebih suka bersepeda ke depan sekolahnya sendiri
sementara yang lain masih dengan orang tuanya. Paling kakak kesayangannya itu
hanya mengantar sampai persimpangan jalan
tadi.
Anita tiba di depan SMA
Seoul. Semenjak pindah ke daerah itu, harapannya adalah bersekolah di SMA itu.
Nama SMA itu seperti nama kota yang diimpikannya. Itulah yang dia pikirkan
pertama kali.
Kelas dimulai dengan
pelajaran Fisika. Walaupun otaknya cukup pintar menurut teman-temannya, tetap
saja pelajaran itu membuatnya sedikit
kesal.
“Teng, teng, teng….”
Lonceng istirahat berbunyi. Semua siswa berhambur keluar.
“Nis, kita ke kantin, yuk!”
kata Sheli dengan wajah memelas penuh kasihnya
itu.
“Ok, ok, tapi, temenin aku
ke perpustakaan dulu. Bentar aja, kok, cuma mau balikin buku bentar. Udah
nunggak, nih, 2 minggu.
Mau?”
“Iya, demi sahabatku yang
nunggak 2 minggu. Hahaha…,” dia memalingkan wajahnya ke arah Agis,”Gis, mau
ikut?”
“Nggak, nggak. PR Bahasa
Indonesia-ku masih belum selesai. Lagipula, aku masih kenyang,” jawabnya dengan
agak ragu.
Dengan menangkap keraguan
dari wajah putih nan cantik itu, Sheli berkata,”Ya udah. Nanti kubeliin sedikit
makanan buat kamu. Kamu, kan, nggak pernah makan
pagi.”
Agis terlihat bahagia,”Oh,
thank you my best friend, forever, and ever,
hahaha…”
Anisa dan Sheli hanya
tersenyum simpul melihat kelakuan temannya itu. Mereka pun cepat-cepat keluar
karena waktu istirahat mereka sedikit terbuang. Sebelum ke kantin, mereka ke
perpustakaan seperti kesepakatan mereka tadi. Tapi, langkah Anisa terhenti saat
mereka melewati ruang Kesenian. Matanya terpaku pada sesosok lelaki yang
dikenalnya namun dia tahu bahwa lelaki itu harusnya tidak berada di sini.
Namun, hanya bisa sesaat, sebelum temannya itu curiga. Dalam waktu sesaat itu,
hatinya berguncang dan tiba-tiba senyuman mengembang di bibirnya tanpa dia
sadari.
“Dia ada di sini?” katanya
dalam hati.
Senyuman tidak jelas
mengiringi langkahnya dari perpustakaan ke kantin. Gadis itu sampai bisu
setelah kejadian itu. Shaila merasa aneh dengan temannya itu. Tapi, sekeras
apapun dia mencoba untuk berbicara dengan gadis itu, tetap saja tidak
didengarnya. Dia pun memutuskan untuk diam saja. Shaila memang cukup lamban
untuk memahami apa yang terjadi dengan sahabatnya
itu.
Waktu pulang sekolah telah
tiba. Anisa menghampiri meja temannya, Sinta, “Sin, kamu masuk hari
ini?”
“Kayaknya nggak, deh. Aku
harus jaga adikku. Dia lagi sakit. Aku udah izin, kok,
tadi.”
“Oh, gitu. Semoga adikmu
cepat sembuh,ya,” katanya sambil
tersenyum.
Mereka berdua pun keluar
bersama-sama. Sementara Sinta pergi menuju gerbang, Anisa pergi ke ruang
kesenian. Kebetulan hari ini dia tidak makan lagi. Kudapan di istirahat pertama
tadi masih membuat perutnya kenyang.
Saat masuk ke ruang
kesenian, hatinya kembali berguncang. Sosok yang mengganggu jiwanya itu kini
tepat berada di depannya hanya berjarak beberapa meter di dalam ruang kesenian
itu. Sementara yang lain hanya meletakkan tas dan kembali keluar untuk sedikit
mengisi perut, mereka berdua berada di ruangan itu dengan rasa canggung satu
sama lain. Dengan sedikit keberanian, Anisa mendekati lelaki itu. Matanya yang
tajam, menyayat hatinya, kulitnya putih dan dia rasa sangat lembut saat hatinya
mencoba sedikit meraba, baunya sangat harum saat beberapa langkah mencapai
tempat laki-laki itu berdiri sambil memandang keluar jendela walaupun dia
lelaki.
“Hei, anak baru, ya, Ka?
Tapi, kakak, kan, harusnya kelas 3, kenapa bisa ada di sini? Kelas 3 kan
harusnya fokus buat ujian. Lagipula, nggak diwajibkan lagi buat ikut ekskul,”
katanya sedikit
gagap.
Lelaki itu memalingkan
wajahnya ke arah Anita,”Banyak banget, sih, pertanyaannya. Tapi, okelah,
kujawab. Ya, kakak ini murid baru. Kalau mau tau kelasnya, di kelas 3 IPS 1.
Kakak ada disini soalnya diminta sama kepala sekolah buat ngajarin kelompok
tari. Sekarang aku balik nanya. Kamu juga ikut di sini? Kenapa kamu tau kalau
kakak murid kelas 3? Kamu kenal sama
kakak?”
“Ya, aku ikut kelompok tari
juga. Aku tau kakak murid kelas 3 soalnya lambang di baju kakak itu ada tulisan
angka 3, hahaha…,” katanya dengan lancar. Tapi, sebenarnya lebih dari itu. Dia
tahu bahwa laki-laki itu bernama Sandi Reyhan, dia lahir di Bandung, tanggal 24
Agustus 1993, lebih tua 2 tahun darinya, dia dulu sekolah di SMA Pelita. Entah
mengapa dia pindah ke sini. Orang itu juga yang mendorong hati Nisa untuk ikut
tari. Berawal dari dua tahun lalu, dan tidak tahu kapan berakhir. Namun,
sekarang kebahagiaan menguasai hatinya. Paling tidak untuk setahun ini. Beberapa
saat Nisa memandang lelaki yang sedang mencoba menghirup udara segar di luar
jendela itu dengan hati-hati sampai semua teman-temannya datang.
Setiap minggu di bertemu
Sandi. Sandi pun sepertinya menjadi sangat dekat dengan Nisa. Selain dia cantik,
dia juga sangat mudah untuk
diajari.
Beberapa bulan berlalu. Itu
bulan terakhir di semester 1. Sandi makin dekat dengan Nisa. Sehingga di suatu
hari, setelah mereka selesai latihan tari untuk pentas sekolah, Sandi
menghampirinya dan berkata,”Aku masih
mengenalmu,”
“Maksud Kakak
apa?”
“Aku masih mengenalmu
walaupun sudah 2 tahun kita tidak bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih
mengenalku. Tapi, aku mengingatmu. Aku melihatmu walaupun hanya dri kejauhan
dan aishiteru dari pertama dan untuk hari lainnya,” sambil menatap gadis
pujaannya itu dengan
pasti.
Hati Nisa makin terguncang.
Air matanya hampir tidak bisa dia tahan,”Kakak,,” katanya gagap. Dia tidak bisa
berkata apa-apa. Tapi, tiba-tiba teleponnya berdering. Untuk beberapa saat dia
mencoba meresapi perkataan orang yang ada di seberang sana. Namun, tangisnya
tiba-tiba meledak. Hatinya seakan hancur, dadanya sesak. Dipikirannya sekarang
hanyalah ingin pulang. Dia pun berlari keluar ruangan tanpa ingat perkataan
dari Sandi. Semua seakan kosong dan hampa.Dia telah sampai di depan rumah
sakit. Dia pun langsung berlari ke dalam tanpa peduli betapa lelahnya setelah
mengayuh sepeda cukup jauh. Dia tiba di sebuah ruangan VIP dan mendengar suara
kecil dari dari balik pintu
itu.
“Entah berapa lama lagi
anak ini bisa bertahan. Kami tidak bisa menemukan donor jantung untuknya. Maaf,
kami sudah
berusaha.”
Gadis di balik pintu itu
hanya bisa tertunduk dan menangis tanpa suara.sedikit demi sedikit, tubuhnya
tertuduk di atas lantai tempatnya berdiri. Tubuhnya sudah lemas. Dia mendengar
suara hentakan kaki menuju pintu. Dia pun berdiri. Di depannya, dokter itu
keluar dari ruangan itu. Tinggal di sana orang tuanya yang menangis dan
akhirnya menyuruh Nisa untuk masuk dan tinggal beberapa saat untuk menjaga
adiknya sementara mereka pulang mengambil
baju.
Air mata Anisa tidak dapat
terbendung melihat adiknya terbaring tanpa membuka mata. Tubuhnya penuh
alat-alat yang dia pun tak tahu alat apa itu meski sering melihatnya. Yang dia
tahu, bahwa alat itu yang membantu Anita untuk tetap
bernafas.
Entah darimana pikiran itu.
Dia ingin mengakhiri penderitaan Anita selama ini. Dia tidak ingin terus
terpaku pada alat-alat itu. Dia pun mulai melepas satu-persatu alat-alat itu.
Adiknya kesakitan di bawah
kesadarannya.
“Tenanglah, kau tidak akan
kesakitan lagi.” Katanya sambil tersenyum. Anita kini tidak kesakitan lagi
untuk selamanya. Anisa mencium kening adik terkasihnya untuk terakhir kali dan
pergi meninggalkn ruangan itu. Sementara itu, di luar Sandi melihat Anisa yang
keluar dengan langkah gontai dan mata kosong. Dia tidak langsung mengejar gadis
itu. Dia tahu bahwa Anita sendirian di dalam. Tapi, dia tidak percaya apa yang
ditemuinya di dalam ruangan
itu.
Anisa berjalan menuju taman
yang dulu pernah dia kunjungi. Dia lalu pergi ke kantor polisi dan
berkata,”Pak, saya telah membunuh adik saya. Tolong tahan saya,” katanya dengan
yakin,”saya melakukannya dengan sadar.” Pak polisi itu pun menuruti
kehendak Anisa.
Dia ditahan sementara
adiknya dikuburkan karena sudah tidak dapat terselamatkan lagi. Dia
melihat sosok wanita yang dikasihinya duduk sedang menunggunya. Tanpa berpikir
panjang lagi, wanita itu bertanya,”Kenapa kamu melakukan itu?” tanyanya sambil
menangis.
“Aku menyayanginya dan ku
tidak ingin melihat Anita lebih menderita lagi. Sekarang, dia pasti lebih
bahagia.”
“Itu bukan sayang,
Nisa. Ibu harap kau bisa lebih memahami hal itu. Hanya kau yang bisa membantu
dirimu memahami hal itu. Anita sudah tidak ada. Ibu tidak ingin menyalahkanmu,”
kata Ibu dengan mata yang masih basah. Wanita itu pun pergi meninggalkan tanya
di dalam dirinya.
Keesokan harinya, dia
melihat sesosok lelaki yang tidak asing baginya. “Sandi?”
Lelaki itu memalingkan
wajah sambil tersenyum. Anisa duduk di
depannya.
“Apa kau masih mau menjadi
pacarku? Cintaku terus mendorongku untuk bisa membahagiakanmu di sampingmu,
bagaimanapun kamu sekarang,” kata Sandi meyakinkan Nisa. Nisa tak dapat menahan
tangis. Dia kini menemukan arti cinta.
0 komentar:
Posting Komentar