2012/04/11

About Love

By: Khafa_Fathimah di 17.18
Dengan sedikit warna kuning yang ditambahkannya di paduan warna lukisan itu. Daun yang indah menopang bunga yang semerbak. Warnanya dan harumnya membuat gadis itu tertarik untuk mengambil kuas dan memainkan cat minyak kesayangannya dengan warna-warnanya yang indah di atas kanvas putih.          
Suara angin makin menenangkan. Kesendiriannya di tengah taman itu, duduk di atas kursi panjang yang artistik ditemani oleh kanvasnya, tidak membuatnya takut malah semakin nyaman berada di sana.        
Rona warna jingga membuatnya harus beranjak dari sana. Tapi, sekali lagi, dia mencoba menyentuh kelembutan bunga yang dilukisnya dan mengucapkan selamat tinggal.         
Angin sore menemani langkah kakinya yang lembut. Dari kejauhan, sesosok byangan, tak setinggi dirinya, menghampirinya.          
“Kakak, kakak darimana saja?” katanya dengan suara lembut dan polos.          
Nisa menjawab dengan suara lembut,”Kakak habis dari taman, Nita. Kenapa kamu ke sini, sih? Bahaya tau. Lain kali jangan kayak gitu lagi!”          
“Yee, Nita kan sudah besar, sudah kelas 4 SD. Lagipula, aku takut kakak kenapa-napa di luar. Ibu sama bapak juga nyariin,”ucapnya dengan riang.          
“Ah, kamu ini, perhatian banget, sih, sama kakak,” kata Nisa sambil melayangkan cubitan kecil ke pipi lembut adik kesayangannya itu.          
Kedua saudara itu pun berjalan beriringan sambil berpegangan tangan menyusuri jalan kecil dikelilingi pohon-pohon pinus. Keakraban mereka berdua mengalahkan aroma angin sore itu, sangat harum dan hangat.         
“Nit, kakak ada hadiah buat kamu. Pasti kamu suka.”         
“Apa, Ka?”katanya sambil menyunggingkan sedikit senyuman di bibirnya dengan perasaan yang bertanya-tanya.          
Nisa pun menunjukkan hasil lukisannya tadi. Di sudut pojok bawah lukisan itu tertulis nama Anita Fajar Zahra, nama adiknya. Anita tidak dapat menutupi kegembiraannya. Dia pun melompat-lompat kegirangan sambil memandang lukisan yang indah itu. Suara teriakan kebahagiannya terlontar bagai hujan. Adik kecil itu pun menghambur ke pelukan tubuh tinggi kakaknya. Kini dia bisa merasakan betul betapa senangnya gadis kecil itu.“Untunglah.”
                                                                      ***          

Hari kembali menemui fajar di ufuk timur. Dua gadis itu bersepeda beriringan dengan riang. Tapi, mereka harus berpisah di sebuah persimpangan jalan untuk ke sekolah mereka masing-masing. Anita, anak kelas 4 SD itu sepertinya gengsi kalau harus diantar oleh kakaknya setiap hari. Dia lebih suka bersepeda ke depan sekolahnya sendiri sementara yang lain masih dengan orang tuanya. Paling kakak kesayangannya itu hanya mengantar sampai persimpangan jalan tadi.          
Anita tiba di depan SMA Seoul. Semenjak pindah ke daerah itu, harapannya adalah bersekolah di SMA itu. Nama SMA itu seperti nama kota yang diimpikannya. Itulah yang dia pikirkan pertama kali.         
Kelas dimulai dengan pelajaran Fisika. Walaupun otaknya cukup pintar menurut teman-temannya, tetap saja pelajaran itu membuatnya sedikit kesal.        
“Teng, teng, teng….” Lonceng istirahat berbunyi. Semua siswa berhambur keluar.          
“Nis, kita ke kantin, yuk!” kata Sheli dengan wajah memelas penuh kasihnya itu.          
“Ok, ok, tapi, temenin aku ke perpustakaan dulu. Bentar aja, kok, cuma mau balikin buku bentar. Udah nunggak, nih, 2 minggu. Mau?”          
“Iya, demi sahabatku yang nunggak 2 minggu. Hahaha…,” dia memalingkan wajahnya ke arah Agis,”Gis, mau ikut?”          
“Nggak, nggak. PR Bahasa Indonesia-ku masih belum selesai. Lagipula, aku masih kenyang,” jawabnya dengan agak ragu.          
Dengan menangkap keraguan dari wajah putih nan cantik itu, Sheli berkata,”Ya udah. Nanti kubeliin sedikit makanan buat kamu. Kamu, kan, nggak pernah makan pagi.”          
Agis terlihat bahagia,”Oh, thank you my best friend, forever, and ever, hahaha…”         
Anisa dan Sheli hanya tersenyum simpul melihat kelakuan temannya itu. Mereka pun cepat-cepat keluar karena waktu istirahat mereka sedikit terbuang. Sebelum ke kantin, mereka ke perpustakaan seperti kesepakatan mereka tadi. Tapi, langkah Anisa terhenti saat mereka melewati ruang Kesenian. Matanya terpaku pada sesosok lelaki yang dikenalnya namun dia tahu bahwa lelaki itu harusnya tidak berada di sini. Namun, hanya bisa sesaat, sebelum temannya itu curiga. Dalam waktu sesaat itu, hatinya berguncang dan tiba-tiba senyuman mengembang di bibirnya tanpa dia sadari.          
“Dia ada di sini?” katanya dalam hati.          
Senyuman tidak jelas mengiringi langkahnya dari perpustakaan ke kantin. Gadis itu sampai bisu setelah kejadian itu. Shaila merasa aneh dengan temannya itu. Tapi, sekeras apapun dia mencoba untuk berbicara dengan gadis itu, tetap saja tidak didengarnya. Dia pun memutuskan untuk diam saja. Shaila memang cukup lamban untuk memahami apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.          
Waktu pulang sekolah telah tiba. Anisa menghampiri meja temannya, Sinta, “Sin, kamu masuk hari ini?”          
“Kayaknya nggak, deh. Aku harus jaga adikku. Dia lagi sakit. Aku udah izin, kok, tadi.”          
“Oh, gitu. Semoga adikmu cepat sembuh,ya,” katanya sambil tersenyum.          
Mereka berdua pun keluar bersama-sama. Sementara Sinta pergi menuju gerbang, Anisa pergi ke ruang kesenian. Kebetulan hari ini dia tidak makan lagi. Kudapan di istirahat pertama tadi masih membuat perutnya kenyang.          
Saat masuk ke ruang kesenian, hatinya kembali berguncang. Sosok yang mengganggu jiwanya itu kini tepat berada di depannya hanya berjarak beberapa meter di dalam ruang kesenian itu. Sementara yang lain hanya meletakkan tas dan kembali keluar untuk sedikit mengisi perut, mereka berdua berada di ruangan itu dengan rasa canggung satu sama lain. Dengan sedikit keberanian, Anisa mendekati lelaki itu. Matanya yang tajam, menyayat hatinya, kulitnya putih dan dia rasa sangat lembut saat hatinya mencoba sedikit meraba, baunya sangat harum saat beberapa langkah mencapai tempat laki-laki itu berdiri sambil memandang keluar jendela walaupun dia lelaki.          
“Hei, anak baru, ya, Ka? Tapi, kakak, kan, harusnya kelas 3, kenapa bisa ada di sini? Kelas 3 kan harusnya fokus buat ujian. Lagipula, nggak diwajibkan lagi buat ikut ekskul,” katanya sedikit gagap.          
Lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah Anita,”Banyak banget, sih, pertanyaannya. Tapi, okelah, kujawab. Ya, kakak ini murid baru. Kalau mau tau kelasnya, di kelas 3 IPS 1. Kakak ada disini soalnya diminta sama kepala sekolah buat ngajarin kelompok tari. Sekarang aku balik nanya. Kamu juga ikut di sini? Kenapa kamu tau kalau kakak murid kelas 3? Kamu kenal sama kakak?”         
“Ya, aku ikut kelompok tari juga. Aku tau kakak murid kelas 3 soalnya lambang di baju kakak itu ada tulisan angka 3, hahaha…,” katanya dengan lancar. Tapi, sebenarnya lebih dari itu. Dia tahu bahwa laki-laki itu bernama Sandi Reyhan, dia lahir di Bandung, tanggal 24 Agustus 1993, lebih tua 2 tahun darinya, dia dulu sekolah di SMA Pelita. Entah mengapa dia pindah ke sini. Orang itu juga yang mendorong hati Nisa untuk ikut tari. Berawal dari dua tahun lalu, dan tidak tahu kapan berakhir. Namun, sekarang kebahagiaan menguasai hatinya. Paling tidak untuk setahun ini. Beberapa  saat Nisa memandang lelaki yang sedang mencoba menghirup udara segar di luar jendela itu dengan hati-hati sampai semua teman-temannya datang.    
Setiap minggu di bertemu Sandi. Sandi pun sepertinya menjadi sangat dekat dengan Nisa. Selain dia cantik, dia juga sangat mudah untuk diajari.            
Beberapa bulan berlalu. Itu bulan terakhir di semester 1. Sandi makin dekat dengan Nisa. Sehingga di suatu hari, setelah mereka selesai latihan tari untuk pentas sekolah, Sandi menghampirinya dan berkata,”Aku masih mengenalmu,”         
“Maksud Kakak apa?”          
“Aku masih mengenalmu walaupun sudah 2 tahun kita tidak bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih mengenalku. Tapi, aku mengingatmu. Aku melihatmu walaupun hanya dri kejauhan dan aishiteru dari pertama dan untuk hari lainnya,” sambil menatap gadis pujaannya itu dengan pasti.          
Hati Nisa makin terguncang. Air matanya hampir tidak bisa dia tahan,”Kakak,,” katanya gagap. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Tapi, tiba-tiba teleponnya berdering. Untuk beberapa saat dia mencoba meresapi perkataan orang yang ada di seberang sana. Namun, tangisnya tiba-tiba meledak. Hatinya seakan hancur, dadanya sesak. Dipikirannya sekarang hanyalah ingin pulang. Dia pun berlari keluar ruangan tanpa ingat perkataan dari Sandi. Semua seakan kosong dan hampa.Dia telah sampai di depan rumah sakit. Dia pun langsung berlari ke dalam tanpa peduli betapa lelahnya setelah mengayuh sepeda cukup jauh. Dia tiba di sebuah ruangan VIP dan mendengar suara kecil dari dari balik pintu itu.         
“Entah berapa lama lagi anak ini bisa bertahan. Kami tidak bisa menemukan donor jantung untuknya. Maaf, kami sudah berusaha.”          
Gadis di balik pintu itu hanya bisa tertunduk dan menangis tanpa suara.sedikit demi sedikit, tubuhnya tertuduk di atas lantai tempatnya berdiri. Tubuhnya sudah lemas. Dia mendengar suara hentakan kaki menuju pintu. Dia pun berdiri. Di depannya, dokter itu keluar dari ruangan itu. Tinggal di sana orang tuanya yang menangis dan akhirnya menyuruh Nisa untuk masuk dan tinggal beberapa saat untuk menjaga adiknya sementara mereka pulang mengambil baju.          
Air mata Anisa tidak dapat terbendung melihat adiknya terbaring tanpa membuka mata. Tubuhnya penuh alat-alat yang dia pun tak tahu alat apa itu meski sering melihatnya. Yang dia tahu, bahwa alat itu yang membantu Anita untuk tetap bernafas.          
Entah darimana pikiran itu. Dia ingin mengakhiri penderitaan Anita selama ini. Dia tidak ingin terus terpaku pada alat-alat itu. Dia pun mulai melepas satu-persatu alat-alat itu. Adiknya kesakitan di bawah kesadarannya.          
“Tenanglah, kau tidak akan kesakitan lagi.” Katanya sambil tersenyum. Anita kini tidak kesakitan lagi untuk selamanya. Anisa mencium kening adik terkasihnya untuk terakhir kali dan pergi meninggalkn ruangan itu. Sementara itu, di luar Sandi melihat Anisa yang keluar dengan langkah gontai dan mata kosong. Dia tidak langsung mengejar gadis itu. Dia tahu bahwa Anita sendirian di dalam. Tapi, dia tidak percaya apa yang ditemuinya di dalam ruangan itu.          
Anisa berjalan menuju taman yang dulu pernah dia kunjungi. Dia lalu pergi ke kantor polisi dan berkata,”Pak, saya telah membunuh adik saya. Tolong tahan saya,” katanya dengan yakin,”saya melakukannya dengan sadar.” Pak polisi itu pun menuruti kehendak Anisa. 
Dia ditahan sementara adiknya dikuburkan karena sudah tidak dapat terselamatkan lagi.  Dia melihat sosok wanita yang dikasihinya duduk sedang menunggunya. Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu bertanya,”Kenapa kamu melakukan itu?” tanyanya sambil menangis.          
“Aku menyayanginya dan ku tidak ingin melihat Anita lebih menderita lagi. Sekarang, dia pasti lebih bahagia.”         
 “Itu bukan sayang, Nisa. Ibu harap kau bisa lebih memahami hal itu. Hanya kau yang bisa membantu dirimu memahami hal itu. Anita sudah tidak ada. Ibu tidak ingin menyalahkanmu,” kata Ibu dengan mata yang masih basah. Wanita itu pun pergi meninggalkan tanya di dalam dirinya.          
Keesokan harinya, dia melihat sesosok lelaki yang tidak asing baginya. “Sandi?”
Lelaki itu memalingkan wajah sambil tersenyum. Anisa duduk di depannya.         

“Apa kau masih mau menjadi pacarku? Cintaku terus mendorongku untuk bisa membahagiakanmu di sampingmu, bagaimanapun kamu sekarang,” kata Sandi meyakinkan Nisa. Nisa tak dapat menahan tangis. Dia kini menemukan arti cinta.

0 komentar:

Posting Komentar

TRACK LIST

[soundcloud url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /] [soundcloud params="auto_play=true&show_comments=false" url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /] Embeds a track player which starts playing automatically and won’t show any comments. [soundcloud params="color=33e040&theme_color=80e4a0" url="http://api.soundcloud.com/tracks/207988" iframe="true" /]
 

DAILY NOTES Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting